KANDAGA SENI DAN BUDAYA SUNDA

 

T U T U N G G U L A N

Beradunya alu dan lesung yang dimainkan oleh para wanita yang dinamai tutunggulan di tempattempat tertentu digunakan untuk keperluan:

a. Gerhana Bulan

b. Ngaleunggeuh

c. Ngegender

 

a. Gerhana Bulan

Pada waktu dahulu, atas suatu kepercayaan di desa-desa yang masih percaya kepada dongeng, mereka biasa melakukan tutunggulan kalau terjadi gerhana bulan. Menurut kepercayaan, gerhana tersebut adalah matahari dan bulan sedang berbulan madu hingga mengakibatkan dunia menjadi gelap. Agar tidak lama gelap, maka mereka berusaha mengadakan bunyi-bunyian diantaranya tutunggulan dan kohkol agar gaduh. Akhirnya yang sedang berbulan madu itu cepat bangun karena malu, dengan demikian dunia terang kembali.

Dongeng yang lain dengan berbeda versi, mengatakan bahwa terjadinya gerhana bulan karena seorang yaksa/raksasa/buta memakan bulan sehingga dunia menjadi gelap-gulita. Untuk itu maka masyarakat menakut-nakuti sang yaksa dengan segala bunyi-bunyian diantaranya tutunggulan. Sang Yakasa karena merasa takut oleh segala bunyi-bunyian lalu mengeluarkan kembali sang bulan oleh karena itu maka dunia terang kembali

Cerita ini oleh Wahytu Wibisana dan mang Koko dijadikan satu bentuk kesenian yang

dipergelarkan dengan nama GONDANG SAMAGAHA.

 

b. Ngaleunggeuh

Alu dan Lesung dijadikan sarana komunikasi dalam suatu kegiatan karena pada saat itu belum dikenal adanya alat pengeras suara ataupun alat komunikasi lain seperti menyebarkan undangan apabila akan mengadakan suatu perayaan/hajatan.

Suatu cara untuk mengundang tetangga-tetangga yang jauh. Seminggu sebelum pelaksanaan hajatan/kariaan maka dilaksanakan upacara ngarempug nutu (menumbuk padi) yang berasnya akan digunakan untuk bekal pesta tersebut.

Di lain pihak masyarakat telah mengerti dengan terdengarnya tutunggulan yang terus menerus maka mereka mempersiapkan pula bahan-bahan yang akan disumbangkan kepada si empunya pesta. Mereka bergotong royong dalam melaksanakan kegiatan ini.

 

c. Ngagender

Dilaksanakan apabila terjadi kecelakaan seseorang tenggelam, digigit ular. Suatu cara memberi Pertolongan pertama pada kecelakaan tersebut adalah dengan ngagender.

Caranya: si korban yang mungkin masih dapat ditolong, cepat-cepat dibaringkan di badan lesung, dan para wanita langsung membunyikan lesung dengan memukul-mukulkan alu,

N G O T R E K

Demikian ketatnya masyarakat tani kepada upacara-upacara adatnya, sehingga pada permulaan menumbuk padi yang baru disimpanpun selalu diadakan upacara, dengan sebutan Ngotrek atau “ngarempung nutu” , hamper sama dengan Gondang.

Dalam upacara tersebut tampak ibu-ibu sibuk menyiapkan alat-alat perlengkapan diantaranya, kelapa muda (duwegan), rujak manis, telur, buah-buahan, bubur. Itu semua ditempatkan pada tempat yang telah disediakan, kecuali rujak dan telur di simpan di badan lesung (sarukna).

Lesung tersebut ditempatkan di dalam pondok lesung (dudurung) tidak jauh dari lumbung padi (leuit). Agar tidak jauh dan sukar mengangkut padi yang akan ditumbuk.

Pemimpin upacara adalah seorang wanita tua yang disebut “Ambu”. Diam di sebelah kanan lesung, diikuti oleh para tetua lainnya. Setelah siap peralatannya, maka Ambu membacakan do’a sambil membakar kemenyan. Disusul dengan melagukan Kaleon sebagai pengundang kepada Dewa Anta (ayah Dewi Sri) dengan maksud mohon do’a restunya dan mohon disaksikan, mereka akan mendatangkan Dewi Sri. Tidak lama kemudian bergemuruhlah suara lesung yang dibunyikan dengan alunya masing-masing (tutunggulan) dalam lagu Ungkut-Ungkut, hingga telur di atas lesung itu jatuh dan pecah. Menurut kepercayaan, telur jatuh dan pecah itu menandakan bahwa Dewa Anta telah hadir ( dalam suatu dongeng disebutkan bahwa Dewi Sri itu berasal dari telur atau air mata Dewa Anta).

Suara tutunggulan menghilang disambung oleh suara Ambu dalam lagu Sulanjana sebagai tanda terimakasih atas kehadiran Dewa Anta. Kemudian tutunggulan lagi yang lebih meriah dalam istilahnya “Ngabendrong” dalam lagu Rampes maksudnya menggambarkan rasa gembira atas kedatangan Dewa Anta.

Untuk mengundang Dewi Sri, maka Ambu menyanyikan lagu Taraje Emas. Dilanjutkan menumbuk lesung dengan pelan-pelan, motip tumbukkan ini disebut lagu anginangin. Karena bergeraknya lesung, maka rujak dan kelapa muda yang diletakan di badan lesung tersebut tumpah. Ini memberi tanda bahwa Dewi Sri telah tiba. Lantas si Ambu menyambutnya dengan lagu Lutung Luncat. Sebagai lagu penghormatan atas kehadiran Dewi Sri adalah lagu Kukupu diadu dalam bentuk tutunggulan. Lamanya lagu tersebut diukur oleh keluarnya keringat para peserta upacara. Kalau telah berkeringat memberi tanda bahwa penghormatan pada Dewi Sri telah diterima. Dengan demikian selesailah upacara ngagondang tadi.

Perlu diketahui bahwa selama ngagondang tidak diperkenankan ada orang yang bersenda gurau, harus hidmat dan serius.

Setelah upacara ngagondang tamat, maka diteruskan Ngotrek dalam bahasa karawitan Jawa disebut Kotekan, yaitu suatu hiburan yang digarap oleh para gadis petani, seakan-akan memperlihatkan kepandainnya dalam hal menumbuk padi sambil menyanyi dan menari.

Peristiwa ini di Banten disebut NGAREMPUG NUTU.