TARI KURSUS

Pada giliran penari ketiga dan seterusnya sifat resmi dari Tayuban ini makin berkurang. Suasana menjadi lebih meriah dan mulailah Sinden yang disebut Ronggeng itu menari, kadang-kadang sambil bernyanyi pula. Pada saat ini pula mulai disajikan minuman keras untuk lebih menjadikan suasana lebih gembira, karena tumbuhlah perasaan lebih bebas pada setiap penari. Dengan mengatur sendiri mereka bergantian menari dengan Ronggeng itu. Maka tiap penari menunjukkan gayanya dengan ragam geraknya masing-masing yang menjadikan pemandangan sangat menarik. Menari seingat seketika disebut Ngibing Saka, hal mana sebetulnya merupakan saat-saat seseorang penari menunjukkan ungkapan secara kreatif.

 

Bila suasana makin larut di mana kegembiraan menanjak timbul pula suatu pemandangan yang cukup menarik. Sewaktu banyak penari tampil di gelanggang, tentu setiap penari menginginkan dirinya lebih menarik, dalam hal ini lebih bebas menunjukkan gayanya disertai irama kendang yang tepat. Sedang kendang harus bisa diikuti oleh semua. Maka dalam hal ini yang menginginkan lebih menonjol itu mendekati tukang kendang sambil mengiming-ngimingkan segenggam uang. Maka pengendang langsung tahu sang penari tersebut ingin mendapat prioritas dalam iringan kendangnya dan akan memberikan hadiah berupa uang. Segera pengendang mengikuti penari tersebut dengan pukulan kendangnya. Penari-penari lainnya merasa agak terganggu paling tidak merasa terenggut kebebasannya. Maka akan tampillah beberapa saat kemudian penari lain yang juga memikat penggendang dengan hadiah uang pula. Perhatian penggendang kini beralih pada penderma kedua. Kadang-kadang uang itu diberikan dengan gerakan tari yang cukup menarik dengan jalan ditaburkan ke arah para penabuh disertai gerakan tari yang secara tepat diikuti irama kendang. Dan di sinilah tampil gerakan-gerakan yang secara tak sadar atau improvisatoris dilakukan oleh sang penari itu.

 

Berebutan kendang itu bisa berlarut-larut sampai empat lima orang. Dan bagian ini dari Tayuban biasa disebut Kadipatenan, mungkin karena mula-mulanya terjadi di daerah Kadipaten yang cukup terkenal akan Tayubannya. Kejadian lain yang menyebabkan meriahnya Tayuban adalah bila para penari berebutan Ronggeng. Merekapun bertanding memberikan hadiah kepada Ronggeng. Dan gayanyapun macam-macam. Ada yang menari secara jenaka, atau ada pula yang dengan gaya yang gagah secara improvisasi pula. Disayangkan bahwa pada bagian ini kadang-kadang terjadi yang agak menyinggung kesusilaan. Karena disebabkan minuman keras yang melupakan sekeliling, ada yang berani memberikan uang dengan dirogohkan pada dada Ronggeng. Ada pula yang menggigit uangnya serta minta diterima oleh Ronggeng dengan mulutnya. Memang untuk yang seperti ini, menimbulkan gembira, tapi tak kurang yang merasa tersinggung terutama para tamu wanita, bahkan para istri dari tamu yang ikut Tayuban. Maka timbullah sekelompok penggemar Tayuban uang tidak menyenangi kegembiraan yang berlebihan itu. Mereka berusaha untuk menyuruh Ronggeng hanya duduk menyanyi saja, bahkan ada pula yang sama sekali menghilangkan penghidangan minuman keras. Begitu pula tariannyapun mulai diperhalus dan gilirannyapun diatur. Tapi biasanya setelah tengah malam suasana tak terkendalikan lagi.

 

Pada awal abad 20 ini diantara para penari yang tak menyenangi terlalu bebas nayub bermabuk-mabukan, adalah seorang bernama R. Gandakusumah ternama dengan julukan Aom Doyot yang ketika itu menjabat Camat Leuwiliang. Beliau merintis untuk melakukan Tayuban secara tertib dan sopan. Tariannya diberi susunan tertentu. Ronggeng tidak lagi diperbolehkan ikut menari hanya duduk dengan para nayaga sambil menyanyi. Minuman keras masih diperbolehkan hanya tidak sampai ada yang mabok. Mairan menari bersama pada laki-laki masih bisa dilakukan. Begitu pula tari "Saka" masih dapat menambah meriahnya suasana..

 

Sejak itu timbul Tari-tari Tayub yang diajarkan secara teratur dengan susunan tertentu, dan dalam pengembangannya sempat pula dipengaruhi dalam arti diperkaya perbendaharaan geraknya oleh Tari Tumenggung dari khasanah Tari Topeng.

Umumnya seorang penari yang ketiban sampur (artinya secara resmi dipersilahkan menari) menarikan paling sedikit dua tingkatan dalam arti pada tingkat kedua tariannya lebih cepat serta lebih gagah pula, atau lebih gembira. Pada tingkat kedua inilah biasanya penari-penari yang menyertai menyingkir, kembali duduk sehingga di gelanggang tinggal penari utama. Selesai tarian maka keris dan soder dikembalikan dan dengan suka-rela ia menaruh uang di dalam bokor yang ditempatkan di muka Gamelan. Memberikan sumbangan ini dinamakan  Masak

T A Y U B A N

 

Peristiwa Tayuban dilakukan dalam satu tempat/ruangan beratap, diiringi satu perangkat Gamelan. Sangat jauh berbeda dengan Ibing Ketuk Tilu, di mana Ketuk Tilu dilaksanakan di gelanggang terbuka, alat pengingnyapun sederhana. Kemudian pada lagu-lagunya yang dibawakan dan tentu saja tariannya pun menunjukan perbedaan-perbedaan tertentu.

Suatu Tayuban diadakan untuk meramaikan perhelatan khitanan, perkawinan atau pesta-pesta lainnya. Pada peristiwa tersebut berdatanganlah para tamu yang diundang, dan mereka duduk menghadapi suatu gelangga yang disediakan untuk menari Tayub yang dibelakangnya telah tersedia perangkat gamelan lengkap dengan para sindennya (penyanyi).

 

Para Sinden ini tugasnya bukan hanya menyanyi saja, tapi juga menari melayani para tamu laki-laki yang menari, sampai pada bagian di mana tariannya menanjak baik irama maupun keterampilannya maka para Sinden (juga disebut Ronggeng) pada saat itu menyingkir ke tepi. Tugas lain daripada Ronggeng ini adalah juga memungut sumbangan yang disebut Pamasak, kepada seorang penri yang baru saja selesai menarikan suatu gending yang dimintanya.

 

Sebelum suatu Tayuban dimulai, maka Gamelan melakukan tatalu, yaitu menabuh gending Kebo Jiro, khusus untuk mengiringi berdatangannya para tamu. Sampai kepada suatu saat yang dirasa Tayuban sudah dapat dimulai, maka gending-gending pendahuluan atau gending tatalu itu dihentikan

 

setelah dilakukan kata pembukaan, lalu dimainkanlah suatu gending pembukaan Jipang Karaton dan setelah itu dimainkan suatu gending Papalayon untuk mengiringi penari pria yang bertugas menyerahkan soder/sampur dan keris kepada seseorang yang sangat terhormat untuk memulai Tayuban (istilah tariannya Ngabaksaan)

TARI KURSUS

 

Tari Tayub yang ditertibkan mengalami kepesatan dalam penyebarannya terutama karena cara mengajarkannya yang teratur sehingga mendapat julukan Tari Keurseus dari kata Belanda Curcus (kursus). Boleh dikatakan dengan Tari Keurseus dimulainya ada paguron-paguron Tari Sunda dalam arti dengan menggunakan patokan serta sistim tertentu. Paguron Tari Kursus tersebut menyebar di seluruh Jawa barat semenjak tahun duapuluhan, terutama karena diajarkan di Sekolah Menak (sekolah Pangreh Praja) waktu itu di mana penyebarannya dipermudah karena para lulusan sekolah tersebut disebarkan ke seluruh Jawa Barat.

 

Di antara Paguron yang cukup dikenal serta menghasilkan banyak penari-penari yang baik adalah Perkumpulan Tari Wirahma Sari yang berpusat di Rancaekek, Kabupaten Bandung di bawah pimpinan R. Sambas Wirakusumah yang pada waktu itu menjabat Lurah Rancaekek. Di antara murid angkatan yang pertama yang cukup dikenal sebagai penari maupun pengajar adalah RB Rubama dari Rancaekek serta R. Sunarya Kusumahdinata dari Bandung yang keduanya telah pula pula menghasilkan murid-muridnya menjadi penari-penari yang boleh dibanggakan.

 

Tari Kursus yang merupakan tarian yang telah tersusun rapih serta ditarikan dengan tertib, lambat laun merupakan tari peralihan dari Tari Pergaulan ke tari Pertunjukkan karena Tari Kursuspun cukup indah untuk indah untuk ditonton. Boleh pula dikatakan bahwa Tari Kursus tersebut telah merupakan Tari Dasar bagi tari pertunjukkan bagi laki-laki di kalangan Tari Sunda.

 

Maka Tari Kursus selanjutnya merupakan suatu rumpun tersendiri dalam lingkungan Khasanah Tari Sunda. Golongan pada Tari Kursus yang mungkin juga dapat disebut karakterisasi atau perwatakan, dapatlah dikemukakan sebagai berikut:

1. Lenyepan bersifat lungguh, halus serta berirama lambat

2. Nyatria bersifat lanyap, halus tapi berirama agak cepat

3. Monggawa bersifat gagah, kuat dan berirama sedang

 

Bila diperhatikan nama perwatakan itu maka nampak adanya penyesuaian dengan perwatakan yang ada pada Pewayangan dan rumpun Tari Topeng yang akan dikemukakan pada pasal berikutnya.

Di samping gerakan-gerakannya telah diatur sedemikian rupa, akhirnya gending-gendingnya juga menjadi tertentu, misalnya untuk :

1. Tari Leyepan menggunakan gending Sulanjana, Udanmas, Banjarsinom dan sebagainya.

2. Tari Nyatria menggunakan gending Gawil dan Kakacangan

3. Tari Monggawa menggunakan gending Panglima, Bendrong dan sebagainya.

4. Tari Ngalana menggunakan gending-gending yang sama dengan Tari Monggawa hanyalah iramanya cepat disebut irama Kering Tilu.

 

Pada Tari Kursus ini peran penabuh Kendang menjadi sangat penting, karena setiap Paguron mempunyai susunan-susunan tarian yang tertentu yang iramanya sangat ditentukan oleh irama kendang. Sebetulnya hal ini tak begitu berarti kemajuan karena setiap penari jadi sangat tergantung pada penggendangnya sendiri.

Sebelum lalamba dilakukan biasanya setiap penari memberi hormat dengan sembah sambil duduk bersila mando. Tentu hal ini dilakukannya dengan gerakan tari.

 

Bagian berikutnya setelah lalamba adalah disebut Leyepan, yang gerakan-gerakannya cukup beragam dan makin jauh makin sulit serta kemudian dapat pula ditingkatkan lagi pada tari Nyatria Monggawa dan Ngalana. Untuk jelasnya, beberapa nama gerakan pada tari Leyepan: Jangkung Ilo, Gedig, Mincid, Tindak Tilu, Engkeg gigir... dan sebagainya.

Pada gending yang sama Leyepan ini diteruskan dengan Nyatria yang terdiri dari bagian seperti: Sekar tiba, Nyantana, Mincid Galayar. Menyusul setelahnya Tari Monggawa dengan gending dirubah, lajim disebut ditaekkeun yang berarti ditingkatkan dengan gending lancaran seperti Bendrong atau Palima dan sebangsanya yang juga biasa disebut lagu satu wilet/sawilet.

 

Gending-gending pengiring tari tayuban antara lain:  Gawil, kawitan, Gunung Sari, Kastawa, Gorompol dan lainsebagainya

 

Boleh kiranya disimpulkan bahwa Tari tayub adalah untuk setiap orang sedangkan sampai sekarang baru terbatas untuk kaum laki-laki, meskipun tidak menutup kemungkinan ditarikan oleh wanita maupun seorang waria.

Adapun pakaian yang dikenakan biasanya ialah tutup kepala bernama Bendo, Jas Tutup atau Jas buka dan Kain batik, Keris dipakainya tersandar, di belakang untuk menyalipkan soder paling banyak digunakan di antaranya pada gerakan sepak soder.

 

Pada pelaksanaan pagelaran tari kursus yang lengkap baik itu pada suatu pertunjukan, tayuban atau pertandingan/konkur, maka ditarikan suatu rangkaian dari ke empat perwatakan itu sekaligus oleh seorang penari. Dimulai dengan suatu gending untuk taru Leyepan di mana tari leyepannya dimulai dengan pendahuluan yang disebut Lalamba, terdiri dari gerak pembukaan yang disebut adeg-adeg, yaitu gerakan pertama pada sikap berdiri. Gerakannya cukup sederhana lebih ditujukan pada pemantapan sikap berdiri sertra gerakan tangan yang sederhana.

 

Sebelum menari dibisikannya kepada pimpinan penabuh gending yang dikehendakinya untuk ditarikan. Biasanya tentu lagu kesayangannya yang oleh ahli Tayub dikatakan lagu kostim. Setelah penari pertama, menyusul penari kedua yang tampil setelah iapun dibaksaan oleh petugas baksa. Setelah beberapa saat menari undangan lainnya boleh menyertai penari kedua ini dengan minta ijin terlebih dahulu. Menyertai menari ini disebut mairan. Mungkin lebih dari satu orang ikut mairan dan tariannyapun sekehendaknya asal sesuai dengan irama kendang untuk penari utamanya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TARI WAYANG

Tari wayang sangat erat hubungannya dengan cerita pewayangan yang bersumber dari ceritra-ceritera wayang baik yang berasal dari india seperti Mahabarata dan ramayana, maupun ceritera-ceritera Panji atau Menak. Pagelaran tarinya dapat berupa penamiplan suatu ceritera yang utuh, petikan ceritera atau hanya perorangan/perwatakan dari ceritera-ceritera tersebut. Pagelaran suatu ceritera utuh disebut Wayang Wong atau Wayang pria. Pada pelaksanaannya ada bagian yang ditarikan, sedang guneman, antawacana atau dialog diucapkan oleh Dalang, tapi ada pula yang diucapkan oleh pelaku itu sendiri. Khusus di daerah Cirebon, pemain Wayang Wong selalu memakai topeng dan tentu saja guneman dilakukan oleh Dalang, sedangkan penari mengisinya dengan gerak-gerak sesuai dengan yang diucapkan dalang.

Tutup kepala yang digunakan sesuai dengan tokoh yang diperankan seperti pada Wayang Golek. Umumnya memakai pula baju kurung atau lengan panjang sebagai penutup bagian badan. Keemudian celana pendek (sontog) atau panjang dan pula kain serta perlengkapan lainnya seperti soder/sampur/selendang, keris dan hiasan lainnya. Untuk iringan digunakan gamelan lengkap beserta pesindennya.

Pagelaran wayang wong yang lengkap di Jawa barat boleh dikatakan kurang pesat dibandingkan dengan di daerah Jawa tengah maupun Jawa Timur. hakl ini mungkin karena kurangnya para penyantun dan pelindung yang biasanya pada jaman pertumbuhan terdiri dari kaum ningrat terutama kraton.

Kejayaan Wayang Wong di Jawa barat terjadi pada tahun 20-an, yang dibina oleh rombongan keliling atau di kalangan priyayi terutama di kabupaten. Maka itu ada yang menyebut bahwa pergelaran tersebut adalah Wayang Pria asal kata Priyayi.

Pertumbuhan Tari wayang selanjutnya banyak diwakili oleh tari-tari tunggal dan petikan-petikan, kini dengan adanya gaya baru yang disebut Sendratari mulai nampak kemungkinan untuk berkembang kembali

 

 

 

Tingkatan Tari Wayang dapat dalam golongan:

I. Pria

a. Satria lenyep, contoh Arjuna, Rama

b. Satria Lanyap, contoh Arayana, Sencaki

c. Ponggawa: lungguh (Gatotkaca), dangah (Baladewa)

d. Danawa: Raja (Naga Percona, Rahwana), Senopati (Mamang Murka, Sekipu)

     Balad (Bukbis, marica)

 

II. Wanita

a. Lenyep (Sumbadra, Sinta)

b. Lanyap (Srikandi, Larasati)

 

Patokan yang menandai golongan-golongan itu nampak pada tariannya maupun iringannya.

Tari Satria menunjukan gerakan-gerakan tari yang halus serta irama lambat di mana satria lanyap iramanya lebih cepat seiring dengan gerakannya yang tetap halus. Dalam arah pandangan muka kedua satria itu berbeda, Satria Lungguh, pandangan agak kebawah sedangkan satria Lanyap agak sedikit menengadah ke arah depan.