B E N G B E R O K A N

Di daerah Jati tengah, Jati Tujuh dan beber jatiwangi sebelah barat kota Cirebon ada suatu jenis kesenian rakyat yang diupergunakan untuk menyembuhkan anak-anak yang sakit karena gangguan roh jahat yaitu kesenian Bengberokan

Bengberokan hamper sama dengan Bangbarongan di Sumedang, bentuknya setengah ular dan setengah harimau. Kepalanya dibuat dari kayu menyerupai harimaau, badan dan ekornya menyerupai ular yang dibuat dari karung goni (bagor). Instrument pengiringnya disebut ketuk tilu terdiri dari : Kendang, Kecrek, Tarompet, Terbang dan Gong kecil/bende.

Jalannya upacara sebagai berikut:

Di tempat yang telah disiapkan, tampak sesajen, tumpeng dan padi dua ikat/geugeus sebagai upah penggarapan kesenian tersebut. Sesudah membakar kemenyan, alat bunyi-bunyian segera ditabuh dalam lagu tatalu dalam istilahnya disebut ngaleugeuh. Anak anak kampong lari berbondong-bondong menyaksikan “tatabeuhan” tersebut. Peran penonton yang kebanyakan anak-anak sangat dibutuhkan. Diawali lagu Doblang yang diteruskan lagu Kidung untuk menghormati arwah leluhur anak yang akan diobati.

Pelaku Bengberokan tidak kelihatan karena ditutupi oleh pakaian bengberokan, tangan kanan memainkan kepala Bengberokan, tangan kiri menggerak-gerakan ekornya. Di dalam mulut pelaku terdapat suatu alat sebagai media suaranya yaitu semacam klep yang ditiup.

Pada waktu benberokan itu bersuara (mendesis meniru suara ular) anak-anak mulai ramai memperolok-olokannya dengan kata-kata yang menyinggung perasaan si pelau/bengberokan, sehngga menjadi marah. Anak-anak kemudian dikejar-kejar bengberokan.

Apabila ada anak yang tertangkap maka orang tuanya harus menebus dengan uang. Pertunjukan dihentikan apabila si benberokan telah merasa capai mengejar-ngejar anakanak.

Setelah itu Benberokan masuk ke kamar anak yang sakit, di mana telah disediakan sesajen lengkap dengan peralatannya. Pada saat itulah si penderita sakit diobati dengan jalan mendoa dan memijat-mijat seluruh badanya dengan cara digigit oleh mulutnya dan diadukan bibirbawah dan atas dari bengberokan sehingga menimbulkan bunyi yang mengagetkan.

 

KANDAGA SENI DAN BUDAYA SUNDA

 

 

 

T A R A W A N G S A

Suatu jenis kesenian lain yang digunakan untuk upacara penyimpanan padi adalah Tarawangsa. Dengan tujuan yang sama yaitu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena diberkahi mendapat hasil panen. Dan siap menerima Dewi Sri atau Dewi Padi dengan upacara tersebut.

Dalam penghidangannya disertai gerak Tari dan lagu-lagu sebagai berikut: Pangapungan, Pangemat, Panganginan, Pamapag, Panimang, Lalayaran dan Bangbalikan. Demikian lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong. Sedangkan lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran: Pangrajah, Pamapag, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan< Bojong Kaso dan Cukleuk.

Dalam sebutan lain Tarawangsa dinamai “Ngek-ngek” atau “Jentreng”. Kedua istilah ini mengambil dari suara instrument tersebut. Apabila digesek menuru pendengaran orang Sunda berbunyi ngek sedangkan apabila dipetik kedengarannya treng.

Perbedaan antara Pantun dan Tarawangsa terletak pada jalannya upacara. Dalam pelaksanaan upacara diselenggarakan oleh seseorang yang mampu atau secara gotong royong yang dipimpin/dikoordinir oleh sesepuh (wali puun) setempat.

Setelah alat-alat persiapan dan sesaji tersedia, maka upacara dimulai dari jam 19.00 (setelah sholat Isa). Sesepuh duduk bersila menghadapi perapian dan alat-alat perlengkapan sambil membagikan-bagikan kemenyan kepada sesepuh lainnya agar dimantrai. Kemudian kemenyan-kemenyan tersebut dipungut kembali, lalu dibakarnya disertai mantra-mantra dengan maksud bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan Rosulnya. Demikian pula kepada para leluhurnya. Dalam pada itu Tarawangsa dibunyikan dengan lagu Pangemat, sebagai lagu pengundang Dewi Sri agar segera datang di tempat tersebut. Disusul oleh lagu Panimang untuk mengiringi acara “ngalungsurkeun” (menurunkan seikat padi sebagai lambing Dewi Sri). Dijemput oleh sesepuh sambil membawa pakaian dan kertas yang akan dikenakan kepada padi tersebut diirngi lagu Pamapag. Dibelakangnya diikuti oleh ibu-ibu yang membawa bunga-bungaan, minyak kelapa, hanjuang dan mangkuk berisi beras dengan tektek (lipatan daun sirih) di atasnya.

Sesudah padi itu disawer (ditaburi bunga dan beras) yang diiringi lagu Panganginan dilanjutkan dengan acara bersukaria yaitu menari bersama yang didalangi oleh seorang sesepuh berpakain lengkap (jas tutup, berkain batik, berikat kepala), di pinggangnya terlihat sebilah keris yang dililiti dengan selendang (karembong/sampur). Diikuti oleh penari pria yang disusul oleh penari wanita yang berpakain kebaya dalam lagu Lalayaran.

Acara terakhir adalah “Nginepkeun” atau “Netepkeun” yaitu menyimpan padi yang dihias tadi. Ini menggambarkan bahwa Dewi Sri akan menetap di sana. Dalam kenyataanya padi tersebut disimpan lagi pada tempat asalnya.

Walaupun ada perbedaan pelaksanaan, namun prinsipnya sama. Baik Pantun maupun Tarawangsa, di samping digunakan untuk upacara juga digunakan untuk keperluan lain seperti upacara selamatan bayi, khitanan, perkawinan.