KANDAGA SENI DAN BUDAYA SUNDA

 

 

MACAPAT

 

Arti Macapat adalah: Wawacan periode ke IV, diciptakan pada tahun 1269 M, oleh Prabu Banjaran Sari.

Ada yang menduga, macapat asal daripada membaca empat yaitu pengelempokan kalimat 4 suku kata (maca opat-opat), atau membaca cepat-cepat. Bahkan ada yang "mengkiratakan", Macapat adalah :maca bari ngajepat (membaca sambil telungkup). Keseluruhan itu bertitik tolak dari suatu tradisi masyarakat kita, ketika mengadakan upacara "Syukuran kepada Tuhan Yang Maha Esa" telah dikaruniai bayi genap berusia 40 hari, diselenggarakan pada malam hari. Pada siangnya diadakan upacara guntin rambut yang disebut upacara Marhabaan. Dalam upacara Marhabaan disediakan sesajen: Kelapa Muda (duwegan), penuh dengan alat perhiasan dari mas antara lain: kalung, cincin, gelang dan lain sebagainya. Ada pula yang diikatkan pada gunting pemotong rambut yang akan dipakai memotong rambut bayi tersebut. Sebuah bokor berisi air dan bermacam-macam bunga, untuk membasahi kepala bayi sebelum dan setelah digunting.

Lagu-lagu yang dikumdangkan meniru-niru tangga nada Arab atau Mesir. Syair/Rumpaka diambil dari ayat-ayat suci Al Qur'an.

 

Pada malamnya dilanjutkan dengan upacara hiburan Macapat, berupa nyanyian berumpaka yang berpatokan pupuh yang 17 buah, terutama Kinanti, Sinom, Asmarandana dan Dangdanggula (KSAD), yang bersumber kepada naskah Wawacan.

Wawacan yang dihidangkan antara lain: Ahmad Muhammad, Ali Muchtar, Angling Darma, Arjuna Sasrabahu, Babad Cirebon, Babad Sumedang, Barata Yuda, Cumina, Damar Wulan, Danu Maya, Dewa Ruci, Ekalaya, Gandamanah, Hayatinipus, Kintabuhan, Lokayanti, Maha Barata, Mundinglaya, Nalaka Suraboma, Ogin, Pandawa Seda, Panji Wulung, Pua-pua Bermana Sakti, Purnama Alam, Ramayana, Rangan Pulung, Rangga Wulung, Rengganis, Sangkuriang, Sulanjana, Suryakanta, Surya Ningrat, Udayana, Walang Sungsang.

 

seorang di antara penggarap Macapat bertugas khusus sebagai Juru Ilo yaitu membawacakan kalimat-kalimat daripada wawacan yang akan dinyanyikan oleh para penggarap lazim disebut Juru Beluk.

 

GEMYUNG

 

Gembyung adalah seni terbang yang telah dikolaborasi dengan alat-alat bunyi-bunyian ketuk tilu antara lain 4 buah terbang, Kendang dan Kulanter, Goong dan Kempul, Saron dan Rebab. Ini terdapat di daerah-daerah: Dukuh, Linggajati, Cilimus, Kuningan, Subang, Sumedang.

 

Perlu diketahui bahwa Gemyung Sumedang terdiri dari Waditra-waditra: 5 buah Gemyung/Terbang Besar, Kendang dan Kulanter, Goong Awi (Gong bambu/bumbung)

Masing-masing nama waditra terbang adalah Terbang Tilingting, Terbang Bangsing, Terbang Kempring, Terbang Tojo dan Terbang Goong.

Perkembangan dari jenis kesenian Gemyung salah satunya adalah kesenian Bangreng kependekan dari Terbang dan Ronggeng. Dalam pertunjukannya disamping ada nyanyian juga ada tarian.

Lagu lagu yang dihidangkan antara lain: Kidung, Baju Beureum, Turun Sintren, Kicir-Kicir, Rincik Rincang, Adem Ayem. Disini lagu-lagu bernafaskan keagamaan telah hilang. Sedangkan dalam Terbangan, Genjringan, Tepak Lima dan Rudat masih nampak jelas, seperti pada lagu-lagu Husoini, Barjanji, Salawat Nabi, Imlat, Unzur Ila Badrisama, Alaika Salam, Ya Mustufa, Habibi, dan sebagainya

TERBANGAN

 

Selain Marhabaan masih banyak sekali jenis kesenian rakyat yang bernafaskan Agama Islam. Diantaranya Terbangan atau Genjringan. Istilah ini diambil dari nama waditranya, terbang atau genjring yaitu semacam alat berkulit, cara membunyikannya dipukul dengan telapak tangan (ditepak).

Masih ada pula istilah lain yang menunjukan jenis kesenian semacam ini diantaranya Rudat, Tepak Lima, Gambus, Mawalan.